Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu Yang Menciptakan (QS.Al-Alaq:1)

Selasa, 30 Maret 2010

Biografi Ibnu Atha'illah

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: "Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: "Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku", dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: "Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: " Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka". Dengan bijak Nabi mengatakan : " Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka". Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”. Pada akhirnya Ibn Atho' memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:

Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau". Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama' tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : "apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : "Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga".
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka". Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".

Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho' dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan". Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : "Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah". Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.

Karya
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho' meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ata'iyyah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.

Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: "Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia...". Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: "Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka". Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab "Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : "Siapa saja yang kamu temui ?" lalu si murid menjawab : "Tuanku… saya melihat tuanku di sana ". Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : "Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.
Wafat

Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro

sumber: http://kisahwali.blogspot.com/2008/02/tokoh-sufi.html

Selasa, 16 Maret 2010

Ibnu Hazm, Ulama Brilian dari Spanyol

Oleh bahrul Ulum

Ibn Hazm diakui sebagai seorang ulama yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia Islam. Tak kurang dari 400 judul kitab telah ditulisnya. Melalui karya-karyanya itu, ia diakui sebagai filusuf, teolog, sejarawan, sastrawan, pakar fikih, negarawan, akademisi dan politisi yang handal.

Dua karya monumentalnya al Ihkam fi Ushul al Ahkam (Ushul Fikih) dan kitab al Muhalla (Fikih) menjadi rujukan utama fuqaha mu’ashirin (pakar fikih kontemporer) dalam upaya penyelarasan khazanah fikih Islam. Karyanya yang lain, berjudul Tauqul Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta) menjadi kitab terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang berisi sebuah kompilasi anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya menarik bagi umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.

Di kalangan sarjana Islam, Ibnu Hazm dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki keunikan dalam kajian-kajiannya. Ia memiliki metodologi sendiri dalam memahami agama yang berbeda dengan fuqaha arba`a (ulama empat madzhab). Ia menolak al qiyas (dalil analog) yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) sebagai salah satu landasan hukum syari’at. Alasan Ibnu Hazm menolak qiyas karena menurutnya persoalan agama tidak boleh dipecahkan dengan al Qiyas dan ar Ra’yu, sebab perselisihan pendapat dalam Islam harus dikembalikan pada al Qur’an dan as Sunnah.
Ibnu Hazm juga beranggapan bahwa madzhab yang berpengaruh saat itu, telah mempolitisir hakikat ajaran Islam. Karenanya, ia membuat sebuah metodologi yang berbeda dengan mazhab yang ada.

Metodologi yang dipakai yaitu menggunakan jalur tekstual dalam memahami syari’at Islam, dengan menolak analog sebagaimana yang dipakai oleh empat mazhab. Metodologi pemikiran tekstual Ibnu Hazm itu mengambil kandungan kata dan bukan intisari makna sebuah dalil atau ayat. Metode ini bersandar pada dua inti dasar. Pertama; berpegang pada teks-teks Al Quran, Hadits dan Ijma’. Kedua; tidak menerima dalil qiyas, istihsan, sebagaimana yang dipakai oleh empat mazhab. Kemudian Ibnu Hazm juga gencar mengkampenyakan agar kaum muslimin tidak taqlid kepada para pemimpin madzhab.

Untuk mensosialisasikan metodenya itu, ia sering membuat forum kajian dan menuangkan pandangan-pandangannya dalam sebuah media tulisan. Hanya saja, cara yang dilakukan sangat provokatif sehingga tidak disenangi oleh kaum Muslimin.

Ia sering menggunakan istilah yang kasar dalam mengungkap ketidaksetujuannya dengan ulama lain. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kitabnya seperti; al Muhalla, an Nubdzah al Kafiyah, al Fisal fi al Milal wa an Nihal dan al Ihkam fi Ushul al Ahkam. Misalkan dalam al Muhalla Ibnu Hazm sering menggunakan kata 'orang ini tidak beriman'.

Karena sikapnya seperti itu, tak heran jika para ulama pada jamannya mengkritik habis-habisan sikapnya.

Ibn Katsīr dalam kitab Al-Bidāyah Wa'n Nihāyah menjelaskan bahwa Ibnu Hazm sangat sering mencela ulama dengan pena dan lisannya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat pada zaman tersebut membencinya. Ia juga menilai Ibnu Hazm sebagai orang yang kebingungan dalam hal furū` (fiqh) yang tidak berpegang pada qiyās, baik yang jali (sangat jelas) maupun selainnya.

Wafatnya

Ibnu Hazm lahir di sebuah kawasan yang terletak di sebelah timur kota Qordoba, Spanyol pada tahun 384H (7 November 994M).

Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Sholeh bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abd Syams al-Umawiyah.

Ibnu Hazm tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat. Ayahnya adalah salah satu menteri kerajaan Cordoba. Walau dikelilingi dengan gemerlap kemewaan, namun tidak menjadikannya lupa akan kedudukan dan kewajiban agama. Ia sangat interest dengan keilmuan islam.

Kondisi sosial, politik, mental dan intelektual yang melatarbelakanginya, juga menjadi faktor pendorong bagi Inu Hazm untuk menjalani hidup dalam pengembaraan mencari jati diri. Saat berkelana itulah ia mengenal ilmu dan ulama. Dan dari para ulama inilah ia mendalami intisari agama.

Ibnu Hazm belajar kepada para ulama kenamaan seperti Abu Muhamad ibn Dakhun, Abdullah al-Azdi, Abi qasim Abdurahman bin Abi Yazid al-Misri, dan masih banyak lagi sederatan ulama yang kadar keilmuannya diakui oleh rakyat Qordoba.

Dari didikan para ulama itulah akhirnya ia menjadi seorang yang pakar dalam bidang agama. Kepakarannya bukan hanya diakui oleh kaum muslimin, namun juga diakui oleh sarjana Barat. Bukan cuma itu, ia juga menguasai ilmu kenegaraan. Ia pernah menjabat sebagai menteri pada pemerintahan Cordoba.

Nasehat yang terkenal dari Ibnu Hazm kepada pencari ilmu yaitu, "Jika anda menghadiri majelis ilmu maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala, dan bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada padamu, mencari-cari kesalahan (dari pengajar) untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, yang mana orang-orang tersebut tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya. Maka jika anda menghadiri majelis ilmu sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan, maka tetapilah tiga hal ini dan tidak ada keempatnya."

Pada 28 Sya’ban 402H bertepatan pada tahun 1063M beliau memenuhi panggilan Allah Swt. Wafatnya, cukup membuat masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu.

Khalifah Mansur al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap kepergian Ibn Hazm, seraya berucap: “Setiap manusia adalah keluarga Ibn Hazm”

sumber: http://www.inpasonline.com

Senin, 08 Maret 2010

download MIP

utk ade:yg mklh ekopol gak punya softcopy-nya...
klik
http://www.4shared.com/file/236611147/bf032d17/MIP.html

atau

klik disini

Minggu, 07 Maret 2010

Biografi Al-Imam Asy-Syaukani (rahimahullah) Imam Besar dari Yaman

Nasab dan Kelahiran Beliau

Nama beliau adalah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani kemudian Ash-Shan’ani. Asy-Syaukani adalah nisbah kepada Hijrah Syaukan yakni suatu daerah yang jaraknya dengan Shan’a dapat ditempuh dengan perjalanan kurang dari satu hari, dan merupakan penisbahan dari ayahnya. Adapun Ash-Shan’ani adalah nisbah kepada Shan’a, ibukota Yaman.

Beliau dilahirkan di Hijrah Syaukan, ditengah hari pada hari Senin, 18 Dzulqa’dah 1173 H. Beliau adalah seorang imam, Al-’Allamah (yang benar-benar pandai), Ulama Rabbani, imamnya para imam, mufti (pemberi fatwa) ummat ini, lautan ilmu, mataharinya pemahaman, syaikhul islam, teladan bagi manusia, orang terpandai di zamannya, juru penjelas Al-Qur’an dan Al-Hadits, satu-satunya orang yang tiada bandingannya (di zamannya), mujtahid yang terakhir, pimpinan orang-orang yang bertauhid, mahkota bagi pengikut Rasulullah, pemilik karya-karya (buku) yang belum pernah ada yang mendahuluinya dengan hasil karya yang semisalnya.

Pertumbuhan dan Kehidupan Beliau (rahimahullah) dalam Menuntut Ilmu

Beliau hidup di Shan’a dan dididik dibawah asuhan ayahnya, seorang qadhi (hakim) di Shan’a dan termasuk deretan para ulama yang unggul dan tersohor disana. Mulailah beliau menuntut berbagai disiplin ilmu dan juga mendengar ilmu dari ulama-ulama ternama. Beliau tumpahkan seluruh jiwa dan raganya dalam menuntutnya, berusaha keras dan sungguh-sungguh didalamnya. Beliau tidak disibukkan oleh aktivitas-aktivitas lain yang dapat merintangi jalannya dari thalabul ‘ilmi.

Ayah beliaulah yang menjamin sebagai kebutuhan keseharian beliau. Dalam kehidupan thalabul ‘ilmi, ketika mempelajari satu buku (kitab) beliau tidak merasa cukup hanya dengan satu pembahasan saja. Bahkan beliau periksakan dengan detail kepada beberapa guru beliau dan tidak berhenti kecuali sampai berhasil menguras habis ilmu yang ada pada mereka yang berkenan dengan isi kitab tersebut. Sebagaimana beliau membacakan kitab Syarhul Azhar kepada empat orang ulama besar. Salah satunya adalah ayah beliau sendiri dan yang lain adalah Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Harazi yang mana beliau belajar selama 13 tahun kepada imam ini. Dan bagi pembaca yang ingin mengetahui secara detail tentang kitab apa saja yang beliau pelajari dan referensi-referensi yang beliau jadikan rujukan, silahkan merujuk kepada kitab Ithaful Akabir bi Isnadi Dafatir.

Guru-guru serta Murid-murid Beliau

Guru-guru beliau sangat banyak. Di samping yang telah tersebut diatas, beliau juga menimba ilmu kepada ulama-ulama besar lain, diantaranya :

1. Ahmad bin Amir Al-Hada’i, ulama terpandai di zamannya, meninggal tahun 1197 H. Al-Imam Shan’ani belajar fikih dan faraidh (ilmu hukum waris) kepadanya.

2. Isma’il bin Al-Hasan bin Ahmad bin Hasan, yang dikenal dengan nama “Sibuyah” (Sibawaih). Beliau belajar bahasa Arab kepadanya, meninggal tahun 1206 H.

3. Shiddiq bin Ali Al-Mazjaji Al-Hanafi, guru dalam ilmu hadits.

4. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Murid-murid beliau tak kalah banyaknya, diantaranya adalah putra beliau sendiri, Ahmad bin Muhammad Asy-Syaukani dan termasuk dalam deretan ulama-ulama besar di Yaman, lahir pada tahun 1229 H dan wafat pada tahun 1281 H.

Kitab-kitab Karangan Beliau

Yang masih berupa manuskrip :

1. Tafsir, ada 5 kitab, antara lain An-Nasyr fi Fatwa’idi Suratil Ashr

2. Hadits, ada 15 kitab, antara lain Kasyfud Dien ‘an Hadits Dzil Yadain

3. Aqidah, ada 20 kitab, antara lain Risalah fi Tauhidillah

4. Fiqih, ada 84 kitab, antara lain Risalah fi Hukmi Bai’il Ma’

5. Manthiq, ada 29 kitab, antara lain Al-Qaulul Hasan fi Fadha’il Ahlil Yaman.

Kedua, yang telah dicetak. Ada 38 buku, antara lain:

- Nailul Authar

- Fathul Qadir

- Ad-Durarul Bahiyyah, dll

Wafat Beliau (rahimahullah)

Pada tahun 1250 H datanglah ajal beliau dan terpisahlah ruh beliau dari jasadnya dan dunia. Islampun kehilangan seorang ulama yang konsisten dalam mengamalkan ilmunya, yang telah menunaikan amanah Rabb-Nya dan agamanya. Allah mewafatkannya dengan rahmat dan kasih sayang-Nya. Semoga jannah (surga) yang luas diperuntukkan baginya, sesuai dengan kadar ilmu dan keutamaan yang telah dipersembahkannya kepada Islam dan kaum muslimin. Amin ya Mujibas Sa’ilin.

(Disarikan dari Biografi Al-Imam Asy-Syaukani dari kitab Nailul Authar, 1/3, dan Muqaddimah Fathul Qadir, 1/12-43)

Wallahua’lam