Kemarin, lelaki kekar itu memukul seseorang sekali hantam. Dan korbannya mati.
Semalaman dia gelisah, celingak-celinguk mengkhawatirkan dirinya. Si
korban yang tewas adalah orang Qibthi, dari bangsa sang Fir’aun penguasa
Mesir. Adapun dia dan teman-temannya dari keturunan Ya’qub,
‘Alaihissalam, suku pendatang yang diperbudak. Penguasa kejam itu bisa berbuat hal tak terbayangkan pada sahaya-sahaya yang melanggar aturan.
Lelaki dalam cerita di Surah Al Qashash itu, Musa namanya.
Dan pagi ini, kawan yang tempo hari dibelanya hingga dia tak sengaja
menghilangkan nyawa kembali meminta bantuannya. Lagi-lagi teman
sekampung yang memang pembuat onar itu bersengketa dengan seorang
penduduk Lembah Nil. “Sungguh kamu ini benar-benar pencari
gara-gara yang sesat perbuatannya!”, hardik Musa.
Tapi Musa sukar bersikap lain. Dicekaunya leher pria Qibthi itu, dan
kepalan tangannya siap meninju. “Wahai Musa”, kata orang itu dengan
takut-takut, “Apakah kau bermaksud membunuhku seperti pembunuhan yang
kau lakukan kemarin?” Musa terhenyak. Rasa bersalah
menyergapnya, keraguan melumuri hatinya. Cengkeramannyapun mengendur
dan lepas. Melihat itu si calon korban tumbuh nyalinya. “Kau ini memang
hanya bermaksud menjadi orang yang sewenang-wenang di negeri ini!”,
semburnya.
“Hai Musa”, tetiba muncul seorang lelaki yang tergopoh dari ujung kota,
“Para pembesar negeri di sisi Fir’aun sedang berunding untuk membunuhmu.
Keluarlah segera!” Musa bimbang. “Pergilah cepat!”, tegas orang itu,
“Sungguh aku ini tulus memberimu saran!”
Tanpa tahu jalan dan tanpa ada kawan, Musa bergegas lari. Dengan penuh
was-was dan galau dia ayunkan kaki. Batinnya menggumamkan harap, “Semoga
Rabbku memimpinku ke jalan yang benar”. Langkahnya lebar-lebar dan tak
berjeda, pandangnya lurus ke depan tanpa menoleh.
Dan setelah menempuh jarak yang jauh; memburu nafas hingga menderu,
menguras tenaga hingga lemas, memerah keringat hingga lemah; inilah dia
kini, sampai di sebuah mata air.
Negeri itu, nantinya kita tahu, bernama Madyan. Musa melihat orang
berrebut berdesak-desak memberi minum ternak-ternak. Adapun di salah
satu sudut yang jauh, dua gadis memegang kekang kambing-kambingnya yang
meronta, menahan mereka agar tak mendekat ke mata
air meski binatang-binatang itu teramat kehausan tampaknya.
Musa nantinya akan disifati sebagai lelaki perkasa oleh salah seorang
gadis itu. Bukan tersebab dia menceritakan kisahnya yang membunuh dengan
sekali pukul, melainkan karena dalam lapar hausnya, lelah payahnya,
takut cemasnya, serta asing kikuknya; Musa sanggup
menawarkan bantuan. Orang yang masih mau dan mampu menolong di saat
dirinya sendiri memerlukan pertolongan adalah pria yang kuat.
Musa melakukannya.
Musa menggiring domba-domba itu ke mata air. Ketika dilihatnya ada batu
menyempitkan permukaan situ, dia sadar inilah salah satu sebab
orang-orang harus berdesak-desakan. Maka dengan sisa tenaga, diangkatnya
batu itu, disingkarkannya hingga sumur itu lapang
tepiannya. Lagi-lagi Musa membuktikan kekuatannya. Bahwa pria perkasa
tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran dari manusia.
Tanpa bicara lagi dan tak menunggu ungkapan terimakasih, Musa berlalu
seusai menuntaskan tugasnya. Dia menggeloso di bawah sebuah pohon yang
kecil-kecil daunnya. Rasa lelah melinukan tulangnya dan rasa lapar
mencekik lambungnya. Kemudian dia berdoa, “Rabbi inni
lima anzalta ilayya min khairin faqiir. Duhai Pencipta,
Pemelihara, Pemberi Rizqi, Pengatur Urusan, dan Penguasaku; sesungguhnya
aku terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan amat memerlukan.”
***
Karena desakan hajat yang memenuhi jiwa; sebab keinginan-keinginan yang
menghantui angan; kita lalu menghadap penuh harap pada Allah dengan
doa-doa. Sesungguhnya meminta apapun, selama ianya kebaikan, tak
terlarang di sisi Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Bahkan kita dianjurkan banyak meminta. Sebab yang tak pernah memohon
apapun pada Allah, justru jatuh pada kesombongan.
“Kita dianjurkan untuk meminta kepada Allah”, demikian Dr. ‘Umar Al
Muqbil menggarisbawahi tadabbur atas doa Musa setelah menolong dua gadis
Madyan itu, “Baik hal kecil maupun hal besar”. Dalam kisah ini,
sesungguhnya Musa yang kelaparan hendak meminta makanan.
Cukup baginya, seandainya dia meminta jamuan kepada orang yang dia
telah diberikannya jasa. Cukup baginya, sekiranya dia mengambil imbalan
atas kebaikannya.
Tetapi Musa mengajarkan pada kita tiga hal penting dalam doanya.
Pertama, bahwa hanya Allah yang layak disimpuhi kedermawananNya, ditadah
karuniaNya, dan diharapi balasanNya. Mengharap kepada makhluq hanyalah
kekecewaan. Meminta kepada makhluq hanyalah kehinaan.
Bertimpuh pada makhluq hanyalah kenistaan.
Apapun hajat kita, kecil maupun besar, ringan maupun berat, remeh maupun
penting; hanya Allah tempat mengharap, mengadu, dan memohon
pertolongan.
Pelajaran kedua dari Musa adalah adab. Bertatakrama pada Allah, pun juga
di dalam doa, adalah hal yang seyogyanya kita utamakan. Para ‘ulama
menyepakati tersyariatkannya berdoa pada Allah dengan susunan kalimat
perintah, sebagaimana banyak tersebut dalam Al
Quran maupun Sunnah. Ia benar dan dibolehkan. Tetapi contoh dari
beberapa Nabi dalam Al Quran menunjukkan ada yang lebih tinggi dari soal
boleh atau tak boleh. Ialah soal patut tak patut. Ialah soal indah tak
indah. Ialah soal adab.
Maka demikian pulalah Musa, ‘Alaihis Salam.
Dia tidak mengatakan, “Ya Allah berikan.. Ya Allah turunkan.. Ya Allah
sediakan..”. Dia
merundukkan diri dan berlirih hati, “Duhai Rabbi; Penciptaku,
Penguasaku, Penjamin rizqiku, Pemeliharaku, Pengatur urusanku; sungguh
aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat
memerlukan.”
Yang ketiga, bahwa Allah dengan ilmuNya yang sempurna lebih mengerti apa
yang kita perlukan dan apa yang baik bagi diri ini daripada pribadi
kita sendiri. Musa menunjukkan bahwa berdoa bukanlah memberitahu Allah
apa hajat-hajat kita, sebab Dia Maha Tahu. Berdoa
adalah bincang mesra dengan Rabb yang Maha Kuasa, agar Dia ridhai semua
yang Dia limpahkan, Dia ambil, maupun Dia simpan untuk kita.
Maka Musa tidak mengatakan, “Ya Allah berikan padaku makanan”. Dia
pasrahkan karunia yang dimintanya pada ilmu Allah yang Maha Mulia. Dia
percayakan anugrah yang dimohonnya pada pengetahuan Allah yang Maha
Dermawan. Diapun mengatakan, “Rabbi, sungguh aku, terhadap
apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”
***
Gadis itu berjingkat dalam langkah malu-malu. Dia tutupkan pula ujung
lengan baju ke wajah sebab sangat tersipu. Musa masih di sana, duduk
bersahaja. Tepat ketika bayangan berkerudung itu menyusup ke matanya,
lelaki gagah ini menundukkan pandangan.
“..Sesungguhnya Ayahku memanggilmu agar dia dapat membalas kebaikanmu yang telah memberi minum ternak-ternak kami..” (QS
Al Qashash [28]: 25)
Allah yang merajai alam semesta memiliki jalan tak terhingga untuk
memberikan karuniaNya kepada hamba. Baik untuk yang meminta maupun diam
saja, yang menghiba maupun bermasam muka, yang yakin maupun tak percaya;
limpahan rahmatNya tiada dapat dihalangi. Allah
yang menguasai segenap makhluq memiliki cara tak terbatas untuk
menghadirkan penyelesaian bagi masalah hambaNya. Allah yang menggenggam
seluruh wujud, mudah bagiNya memilihkan sarana terbaik untuk menjawab
pinta dan menghadirkan karunia.
Maka jangan pernah mengharap balasan itu datang dari orang yang pada kitalah budinya terhutang.
Tapi dalam kisah ini, Allah pilihkan jawaban doa dan balasan kebaikan
melalui orang yang padanya Musa telah menghulurkan bantuan. Bukan sebab
tiadanya jalan lain, melainkan karena Allah memang hendak menghubungkan
Musa dengan mata air kebaikan yang telah disiapkanNya
bagi tugas besarnya kelak. Sebuah keluarga terpilih, yang akan menjadi
tempatnya mendewasa dan jadi titik tolak kenabian dan kerasulannya.
Untuk kita insyafi agar diri hanya menggantungkan asa kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
bahwa tak selalu Dia membalas kebaikan melalui
orang yang menerima pertolongan kita. Hanya, mungkin saja itu terjadi.
Sebab ada kebaikan yang Allah persiapkan di balik itu, berlipat-lipat,
bergulung-gulung. Seperti yang dialami Musa.
“Berjalanlah di belakangku”, sahut Musa, “Dan berilah isyarat terhadap
arah yang kita tuju.” Kita tahu, nanti Musa akan dijuluki sebagai ‘Yang
Tepercaya’ karena ucapan ini. Sungguh memang, betapa tepercaya lelaki
muda yang tetap menjaga pandangannya, pada gadis
asing yang jelita, yang mendatanginya untuk kemudian berjalan hanya
berdua.
Maka hari itu berubahlah hidup Musa. Sang pelarian dari Mesir menemukan
tambatan hidup. Di rumah seorang bapak tua dari negeri Madyan, dia
dijamu makan, dilingkupi perlindungan, diberi tempat tinggal, ditawari
pekerjaan, kemudian nantinya dinikahkan, dan akhirnya
diberi tugas kenabian.
Musa meminta makanan dengan tatakrama yang baik. Yaitu, dia pasrahkan
kebaikan apapun yang hendak diberikan Allah padanya ke dalam cakupan
ilmuNya. Musa meyakini bahwa apapun yang akan dikaruniakan Allah padanya
adalah lebih baik dari semua dugaan dalam permohonannya.
Maka Allah memberinya kelimpahan tak terbayangkan.
Demikianlah Allah, Rabb yang Maha Pemurah. Bahkan apa yang kita tak
pernah memintanya, Dia tak pernah alpa memberikannya. Maka pada tiap
doa, sesungguhnya kita diharap bersiap untuk menerima yang lebih baik,
lebih banyak, dan lebih indah. Di dunia maupun akhirat.
Sebab hanya di tanganNyalah segala kebaikan. Sebab Dialah yang Maha
Kuasa atas segala sesuatu.
***
“Aku tak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan”, demikian
‘Umar ibn Al Khaththab pernah berkata. “Sebab setiap kali Allah
mengilhamkan hambaNya untuk berdoa, maka Dia sedang berkehendak untuk
memberi karunia.”
“Yang aku khawatirkan adalah”, lanjut ‘Umar, “Jika aku tidak berdoa.”
Takkan terasa manisnya kehambaan, hingga kita merasa bahwa bermesra pada
Allah dalam doa itulah yang lebih penting dari pengabulannya. Takkan
terasa lezatnya ketaatan, hingga kita lebih mencintai Dzat yang
mengijabah permintaan kita, dibanding wujud dari pengabulan
itu.
Inilah lapis-lapis keberkahan.
Seperti Musa, di lapis-lapis keberkahan kita berlatih untuk meyakini
bahwa segala kebaikan ada dalam genggaman Allah. Di lapis-lapis
keberkahann, kita juga belajar bahwa ilmu Allah tentang kebaikan yang
kita perlukan adalah pengetahuanNya yang sempurna, jauh
melampaui kedegilan akal dan kesempitan wawasan kita. Maka di antara
jalan berkah adalah, rasa percaya yang diwujudkan dalam tatakrama.
Di lapis-lapis keberkahan, kita mengeja iman dan adab itu dalam doa-doa.
Dan inilah firmanNya yang Maha Mulia menutup renungan kita dengan lafal
doa yang penuh makna:
“Katakan: duhai Allah, pemilik kerajaan maharaya, Engkau berikan kekuasaan kepada sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan itu dari siapa saja yang Kau kehendaki. Engkau muliakan sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa jua yang Kau kehendaki. Di tanganMulah segala kebaikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau memasukkan malam ke dalam siang dan Kau benamkan siang ke dalam malam. Engkau mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan Kau seruakkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau mengenugrahi rizki pada siapapun yang Kau kehendaki tanpa terbatasi.”(QS Ali ‘Imran [3]: 26-27)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar